Selasa, 10 Januari 2012

Pantai Sumba Lebih Indah dari Pantai di Bali ??


Inilah sebagian pengalamanku di Sumba Barat yang menunjukkan keindahannya

melalui Kampung Ratenggaro. Kampung ini istimewa karena terletak pada sebuah
tebing di tepi pantai Ratewoyo. Posisinya menghadap ke lautan lepas dengan
ombak yang besar memecah karang. Lurus ke depan, tak ada lagi daratan hingga tiba di Afrika


Kampung ini semula terletak di tanjung yang letaknya tepat di tepi pantai. Namun

abrasi dan pasang laut menyebabkan air masuk ke rumah, sehingga penduduk
memutuskan untuk memindahkan kampung ke tebing yang lebih tinggi.
Pada bekas kampung di tepi pantai masih tersisa kumpulan kubur batu
megalitikum. Bentuknya berbeda dengan kubur batu lempengan bertiang      seperti di
kota Waikabubak. Kubur batu yang ada di sini terbuat dari batu utuh dengan tinggi
lebih dari dua meter dan dihiasi tulisan serta gambar kuno.


Duduk di samping kubur batu kuno menyaksikan pantai cantik dengan ombak
berdebur, saya mengerti kenapa Sumba begitu dipuja akan kekayaan budaya dan
kecantikan alamnya. Pantai berpasir putih lembut diapit karang dan tebing tinggi
mengingatkan saya pada Tanah Lot di Bali. Tentu saja, pantai ini jauh lebih indah
dan sangat sepi. Sayangnya saya datang saat mendung sehingga tak bisa
menyaksikan senja.



Di pantai itu saya bertemu dengan bapak tua bernama Thomas yang memainkan

alat musik tradisional yang terbuat dari kayu. Petikan dawainya menambah suasana
magis yang rasa rasakan di tempat itu. Kelelahan akibat perjalanan dengan motor
selama dua jam langsung hilang.

Kampung tersebut terletak di daerah Kodi, Kabupaten Sumba Barat Daya. Kodi ada
di ujung barat pulau Sumba. Tempat ini berjarak sekitar 80 kilometer dari kota
tempat saya menginap, Waikabubak. Dilihat di peta jalan ini agak memutar, tapi
inilah jalan yang kondisinya paling baik.


Kali ini saya diantar oleh pemandu bernama Timoteus Pingge, penduduk asli

Sumba. Meskipun dia bilang jalan yang kami lewati kondisinya paling baik, tetap
saja kami harus melewati kubangan dan jalan berlubang. Sepanjang perjalanan
kami bertemu rombongan anak-anak sekolah yang tersenyum ramah dan menyapa


setiap pengendara yang berpapasan dengan mereka. “Siang ibu, siang bapa,” kata
mereka. Awan mendung menggantung sehingga beberapa kali kami harus berteduh
dari hujan. 

Sawah, rumah di tepi jalan dengan kubur batu di halaman, jurang dan hutan
menjadi suguhan yang menakjubkan untuk mata sepanjang perjalanan. Sebelum
berangkat, kami membeli oleh-oleh penduduk desa. Rokok untuk bapak-bapak, sirih
pinang untuk para ibu dan permen untuk anak-anak.


Tinggal di daerah yang begitu cantik tak banyak berpengaruh terhadap

kesejahteraan warga kampung. Hanya segelitir dari mereka yang mencari
penghidupan dari laut. Apalagi, kampung ini hanya terdiri atas lima rumah adat.
Kebakaran yang terjadi empat tahun lalu membakar nyaris seluruh rumah di

kampung. Dari 13 rumah, hanya satu yang selamat.
Kampung adat Sumba memang punya risiko kebakaran yang tinggi. Atap rumah
yang terbuat dari ilalang mudah terbakar pada musim kemarau. Api menjalar
terbawa angin, sehingga kebakaran biasanya memusnahkan seluruh rumah di
kawasan.

Membangun ulang rumah adat tidak murah. Warga kampung bercerita bahwa
sebuah rumah membutuhkan empat tiang utama agar tetap tegak berdiri. "Satu
kayu harganya sama dengan seekor kerbau besar," kata para penghuni kampung.
Itu baru biaya untuk tiang utama, belum menghitung biaya untuk membangun
dinding, lantai dan atap. Selain biaya yang mahal, bahan-bahan yang semula
mudah didapat dari hutan kini semakin sulit dicari.

Selanjutnya saya mengunjungi Kampung Paronabaroro. Kondisi kampung di daerah
ini berbeda dengan kampung yang saya jelajahi di kota Waikabubak sebelumnya.
Letaknya yang terpencil membuat kampung ini masih sangat sederhana.
Kepercayaan Marapu masih dipegang erat oleh para penghuninya.
Perempuan tua mengenakan kain tanpa penutup dada. Pria dan wanita mengunyah
sirih pinang yang membuat ludah mereka berwarna merah kesumba. Kebiasaan ini


dimulai sejak umur belasan dan membuat bibir nampak merah seakan memakai

gincu. Kuda tertambat di samping rumah sebagai lambang status sosial keluarga.

Jalan masuk menuju kampung ini berupa jalan setapak sepanjang kira-kira 4
kilometer. Pada bagian depan kampung terdapat tanah lapang penuh kubur batu
yang lebih baru. Sebagian sudah dimodifikasi dengan menggunakan semen, bukan
lagi batu utuh.

Kubur batu dengan usia lebih tua terletak di bagian tengah kampung. Kompleks
kubur batu mengelilingi sebuah altar tempat pelaksanan upacara adat. Tak
sembarang orang boleh menginjakkan kaki ke tempat yang dianggap keramat itu.
Datanglah ke pulau tanah kelahiranku,, dan selamat mengagumi indahnya
daerahku :)


sumber:http://neydie.student.umm.ac.id/2011/07/28/pantai-sumba-lebih-indah-dari-pantai-di-bali/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar